Judul : The Truth about Forever
Penulis : Orizuka
Penerbit: GagasMedia
Tebal : 284 halaman
ISBN : 9797802299
Ketika seseorang tahu sisa usianya tinggal sebentar lagi, masihkah hidupnya punya makna?
Makna itu hilang dari diri Yogas sejak dokter memperkirakan dirinya hanya akan bertahan hidup beberapa tahun saja karena virus HIV yang ada dalam tubuhnya. Yogas harus minum obat secara rutin, sekedar untuk memperpanjang masa sehatnya sebelum infeksi di tubuhnya berkembang menjadi AIDS. *maaf yaaa sedikit SPOILER WARNING* -__-
Jika sisa hidup Yogas adalah sebuah gelas kaca yang terisi air separuhnya, bagaimana Yogas harus menyebutnya? Gelas yang separuh kosong, ataukah gelas yang separuh penuh?
Bagaimana Yogas harus memandang diri sendiri? Sebagai orang yang sekarat akan mati karena HIV, atau orang yang hidup dengan HIV?
Awalnya, Yogas memandang dirinya sebagai orang yang sekarat akan mati. Tanpa harapan. Tanpa masa depan. Hidupnya adalah gelas yang separuh kosong. Semangat dan cita-cita Yogas pupus. Selain itu, orang-orang yang disayanginya menjauh setelah tahu tentang penyakit Yogas. Merasa putus asa, Yogas memutuskan pergi dari rumahnya di Jakarta, menuju Yogyakarta untuk balas dendam pada seseorang; penyebab hancurnya hidup Yogas.
Dalam pencarian itu, Yogas bertekad untuk tak berbuat baik pada siapapun atau menerima kebaikan dari siapapun. Menyayangi dan disayangi adalah hal-hal tidak berguna. Toh dia akan berpisah juga dengan semua orang. Entah berpisah karena mereka menjauhi Yogas setelah tahu tahu penyakitnya, atau berpisah karena Yogas mati.
Tapi sekeras apapun Yogas berusaha menghindar, Tuhan tetap mempertemukannya dengan orang-orang yang peduli padanya, tulus mengulurkan kebaikan. Salah satunya, Kana—gadis tetangga sebelah kamar kos Yogas. Kana cuma ingin bersikap baik, sementara Yogas membenci Kana yang ia anggap sok ikut campur urusan orang. Itu awalnya, sebelum Yogas mulai bimbang dengan perasaannya sendiri terhadap Kana: benci atau cinta?
Membaca novel ini, saya merasa dibawa menyelam dalam-dalam di laut hati kedua tokoh utamanya. *apa seeeh* :p Saya terbahak-bahak saat Yogas berkata, "34A," untuk mengomentari bra warna pink yang dijatuhkan Kana tanpa sengaja tepat di dekat Yogas. Saya ikut meringis perih sesampainya di adegan-adegan sikap ketus Yogas menanggapi perhatian Kana, dan alasan sebenarnya di balik itu: "Kita nggak punya masa depan." Ketika Yogas akhirnya bertemu dengan orang yang menjadi sumber petaka dalam hidupnya, saya juga geregetan, malah ingin mengambil alih belati di tangan Yogas untuk membalaskan dendamnya. *Bunuh aja, Gas! Bunuh!* *sadis mode ON* >___<
Kelebihan lain novel ini adalah cara Orizuka membagi informasi penting tentang HIV/AIDS kepada pembaca. Dalam postingan saya berjudul Remaja Harus Melek HIV/AIDS, saya membahas sedikit tentang kampanye masal HIV/AIDS bagi remaja. Pastinya, penyuluhan searah yang boring ataupun ancaman dosa-neraka yang menyuruh mereka menjauhi seks bebas dan narkoba saja nggak bakal cukup! Remaja adalah kalangan unik yang perlu pendekatan tersendiri. Mereka ingin dihargai pendapatnya, ingin diajak berdiskusi bukan ditakut-takuti, ingin didekati sebagai teman bukan obyek. Salah satu alasan orang menghindari kontak dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) adalah karena takut tertular. Padahal, virus HIV tidak menular semudah virus influenza. Bersentuhan, berpelukan, gigitan nyamuk, memakai peralatan makan yang sama atau tinggal bersama ODHA tidak akan membuat kita ikut terinfeksi!
Nah, kalau informasi di atas saya sajikan seperti itu, jadi mirip brosur kesehatan ya? *garuk-garuk kepala* Tapi The Truth about Forever berhasil menyampaikannya dengan apik lewat narasi atau dialog, misalnya:
"Gas, bukannya kamu yang paling tau kalo virus HIV nggak menular lewat air liur?" kata Kana ketika Yogas minta supaya peralatan bekas makannya dibuang saja.
Atau ini: "Waktu itu, aku masih anak-anak, aku masih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV. Setelah tau Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh. Bukan cuma aku, kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka, seperti aku, malu dan takut karena penyakit itu."
Jauh dari membosankan, apalagi menggurui kan? J
Kalau selalu harus ada retak pada setiap gading, maka ketidaksempurnaan novel ini mungkin ada pada setting cerita. Dalam novel Infinitely Yours, detil setting terasa sangat nyata, lengkap dengan rute bus dan dialog berbahasa lokal, sehingga saya seakan-akan berada di Korea. Tapi sensasi itu tidak saya alami selama membaca The Truth about Forever. Perpindahan setting dari Jakarta ke Yogya, stasiun Tugu, kampus UGM, UPN, pantai Parangtritis, terasa sama saja. Dialog-dialog berbahasa Jawa juga sangat jarang, hanya terselip satu-dua.
Satu lagi yang mengusik, diceritakan bahwa rumah sakit sering menolak Yogas berobat karena dia pengidap HIV, sehingga Yogas enggan datang lagi untuk mendapatkan obat antiretroviral (ARV). Setahu saya, dalam beberapa tahun terakhir sudah lebih mudah bagi ODHA untuk mengakses obat-obatan. Ada lebih dari 10 rumah sakit rujukan HIV/AIDS di Jakarta dan setidaknya lima rumah sakit di Yogya yang tentunya menyediakan ARV, belum lagi klinik-klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) yang juga menyediakannya. CMIIW J
Bagaimanapun, The Truth about Forever berhasil menyampaikan pesannya, bahwa hidup bisa lebih berarti jika dijalani dengan optimis: sebagai gelas yang separuh terisi. Hidup yang singkat bukan alasan untuk putus asa dan berhenti mengejar cita-cita, tapi justru harus jadi cambuk semangat untuk berbuat yang terbaik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar