Oleh Abdul Mutaqin
Pernahkah sahabat menemukan hal istimewa dari anak-anak kita? Aku yakin pernah, meskipun varian, intensitas, volume, segmen dan emosi yang berbeda-beda. Dan menyaksikan keistimewaan dalam kepolosan jiwa mereka, inilah yang aku katakan istimewa.
Pernahkah menyaksikan anak-anak kita menangis? Pasti sering. Tapi, apa yang membuat mereka menangis? Pasti pula banyak macam ragamnya.
Di suatu sore, diantara bau keringat sisa lelah mengajar. Debu masih menempel berbaur dengan minyak alami kulit wajahku. Kepenatan masih mencubit-cubit pinggang, punggung dan kedua belah tangan dari mengendalikan bebek besi yang setia mengantar pulang dan pergi mengais rizki. Baru saja kubenamkan bokong di atas kursi plastik, anakku; Rayyan bercerita.
"Ayah, tadi aku nangis", hi hi hi, lucu. Melihat mimik wajahnya aku tersipu. Ya Tuhaan, aku seperti melihat bayangan wajahku sendiri. Seolah-oleh aku tengah diajak berdialog dengan jiwaku. Rayyan tak ubahnya aku diusianya sekarang. Mirip. Isteriku pernah mengadu padaku, banyak guru SDnya menyebut Rayyan dengan "Abdul Kecil".
"Nangis? Memang kenapa mas?". Aku biasa memanggilnya dengan menambah kata mas; mas Rayyan, mengikuti budaya bundanya yang orang Jawa. Memang terdengar agak ganjil. Lazimnya, sebutan mas diakhiri nama dengan vokal o. Mas Parto, mas Joko, mas Tarmo, mas Trisno dan sebagainya. Lha ini, mas Rayyan. Ah biarlah, sing penting pantes.
"Itu, kakak Mikal cerita tentang kiamat. Kakak ceritanya sambil nangis. Aku ikut nangis. Rafi juga nangis", lhaa..., tiga bocah kecil nangisin soal kiamat. It's amazing.
"Coba-coba, ceritain lagi, ayah penasaran apanya yang bikin mas Rayyan nangisin kiamat". Ahaaa ..., tubuhku segar kembali seolah telah mandi. Rasa penatku bagaikan debu menempel di atas batu licin dihempas angin. Buzzzzzzzzzz ...., hilang semua.
Ini adalah golden opportunity meminjam istilahnya bu Neno Warisman. Tokoh yang dulu pernah sempat aku menjadi wali kelas anaknya; Ghiffari Zaka Waly, siswa cerdas yang jarang disadari kecerdasannya oleh gurunya sendiri waktu itu. Golden opportunity adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilepas tanpa memberikan apa-apa kepada mereka. Saatnya mencelup jiwa Rayyan dengan warna celupan Allah melalui pintu kiamat. Aku tak ingin melewatkan tangisan kiamat anakku Rayyan menguap tanpa bekas. Harus. Hanya saja, kadang aku dan kita tidak terlalu peka menangkap golden opportunity yang diciptakan anak-anak kita. Kita sering abai walau tidak terlalu salah karena mungkin energi kita sudah habis diterkam lelah sepanjang waktu.
Eh alaaa, Rayyan berkaca-kaca. Dia benar nangis lagi.
"Habis, aku takut. Ceritanya serem. Kata kakak, nanti langit pecah Yan, bumi bergoyang-goyang. Matahari engga ada sinarnya lagi. Hancur semuanya. Ayah sama bunda berpisah. Aku tidak kenal kakak lagi. Terus kakak nangis, ya aku nangis. Rafi juga nangis", Aku tersentuh. Hatiku seperti melayang ke alam bawah sadar mengembara diantar oleh tiga anak kecil kelas 1, 2 dan 3 SD.
"Mas Rayyan percaya, Allah sayang pada kita?", kataku mulai mengarahkan nalarnya. Rayyan mengangguk dan mulutnya mengatakan ya. "Jika Allah sudah sayang sama mas Rayyan, sayang sama mba Mikal dan Rafi. Sayang pada kita semua, kiamat itu tidak akan menyakiti kita. Kita akan diselamatkan oleh Allah yang menyayangi kita. Oke?"
"Aku ingin di sayang Allah terus", anakku Rayyan bergumam. Nah ... umpanku dicaploknya. Aku berbinar. Hatiku girang tidak alang kepalang. Ini yang aku tunggu-tunggu.
"Mas, kita semua bisa disayang Allah selamanya. Tetapi agar kita disayang Allah ada syaratnya", aku pancing lagi ingin tahunya.
"Apa yah syaratnya?", gooooooool. Aku mendapatkannya.
"Mas Rayyan sudah punya kok syaratnya, cuma masih harus ditambah. Kemarin, mas Rayyan sudah puasa Ramadhan sebulan kurang sehari karena sakit. Mas Rayyan sudah mau ngaji lagi. Allah pasti sayang. Tapi jika mas Rayyan solatnya juga rajin, hmmmm, Allah pasti sayang terus sama mas Rayyan. Tapi jika kita semua tidak mau puasa, tidak mau ngaji, tidak mau solat, Allah juga tidak mau sayang sama kita". Ya Rabb, semoga ini membekas dalam kalbunya.
Aku senang bisa melukis tauhid di atas kanvas jiwa Rayyan. Harapanku, semoga lukisan iman itu lebih mempertegas syahadat di hadapan Rabbnya saat ia di alam rahim. Dan semoga, lukisan itu akan dibawanya sampai mati, sampai dibangkitkan dan menjadi bekalnya saat kiamat nanti. Aku kira, semua orang tua akan senang melakukannya.
Aku bersyukur masih ada anak yang menangis karena kiamat di zaman ini. Dunia sekarang adalah dunia lawakan, dunia sinteron dan dunia musik serta hiburan. Dunia seperti itu jarang mengajarkan tetesan air mata dan rasa takut pada Tuhan. Bahkan berita tentang kiamatpun diiringi gitar, gendang, perkusi, seruling dan goyangan. Pada akhirnya, berita tentang kiamat yang dihantarkan oleh musik tidak menggerakkan manusia mengingat kuburan, tetapi larut dalam kesyahduan suara seruling dan perkusi serta kesenangan.
Aku sempat melihat di televisi sang raja musik khusyu membawakan lagu kiamat. Tetapi tak ada satupun yang menangis. Bahkan walau dengan malu-malu, masih ada juga yang bergoyang. Tapi mungkin masih nyerempet-nyerempet relevan, sebab nanti di hari kiamat manusia bergoyang seperti mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Hiii, serem lagi.
"(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras".(terjemah QS. Al Hajj [22]: 2)
Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),
pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
dari ibu dan bapaknya,
dari istri dan anak-anaknya.
Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.(terjemah QS. Abasa [80]: 33-37)
Bagaimana kita tidak tersentak memahami berita dahsyat di atas? Bagaimana mungkin dahsyatnya kiamat dihiburkan dengan seruling, gendang dan perkusi? Sedangkan generasi terbaik ummat ini tidak kering-kering air matanya membayangkan kerasnya yaumul qiyaamah. Astaghfirullah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rosulullah bersabda: "Sesungguhnya aku melihat sesuatu yang tak bisa kalian lihat, mendengar apa yang tak kalian dengar, yaitu langit telah retak dan sudah semestinya langit berderak. Di sana tiada suatu tempat untuk empat jemari kecuali telah ada malaikat yang menyungkurkan dahinya bersujud kepada Allah. Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian pasti sedikit tertawa dan banyak menangis. Kalian juga tidak akan bersenang-senang dengan istri di tempat tidur, kalian tentu akan keluar ke jalan-jalan untuk memohon perlindungan kepada Allah" lalu mata Abu Dzar pun berlinangan tangis dan berkata: "demi Allah, seandainya bisa, lebih baik aku menjadi pohon saja yang diambil daunnya"(HR Tirmidzi: 2312).
Mikal, Rayyan, Rafi, semoga tangis kalian tidak sia-sia.
Depok, Januari 2011
abdul_mutaqin
______________________________ _________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar